Senin, 23 Juli 2012

Surat Kartini Untuk Kartini

Andai dapat ku tempuh
Jalan rumit menujumu
Menerobos ruang dan waktu
Mencoba tuk berjumpa denganmu
Meski dalam kurun waktu
Sesingkat-singkatnya
Untuk memelukmu kah?
Sekadar melepas rindu?
Atau hanya menyalamimu sajakah?
Bukan
Bukan untuk itu semua
Melainkan untuk mencaci maki
Memarahimu
Atas kehidupanku sekarang
Aku sangat membencimu
Kartini..
@@@
Seorang gadis kecil tertidur dengan kepala mungilnya menindih kedua tangan yang menelungkup di atas meja belajar. Terlihat beberapa kertas dan alat tulis lain berserakan di sekelilingnya. Lampu kamarnya sudah digantikan oleh lampu belajar yang tentu tidak mampu menerangi kamar yang terbilang luas untuk ditempati oleh anak seusianya. Meski dalam keremangan, masih dapat terlihat kondisi kamar yang semula rapi kini seperti gudang yang tidak terawat. Berantakan.
“Cklek..” terdengar suara daun pintu dibuka. Tidak lama kemudian terlihat sosok laki-laki dengan perawakan cukup tegap dan tinggi yang hampir sejajar dengan daun pintu menghampiri gadis kecil yang tengah terlelap di alam mimpinya. Ia merangkul gadis tadi dalam dekapannya dan segera membaringkannya di atas tempat tidur. Setelah menyelimuti gadis tadi, ia segera merapikan meja belajar gadis kecilnya itu. Tangan besarnya meraih beberapa kertas yang sudah tidak polos lagi. Bola mata nan hitam dibalik lensa berbingkai biru terlihat tajam menatap tinta yang telah tergores dalam kertas yang ia pegang. Ia pun mengambil nafas panjang dan menghembuskannya dalam waktu kurang dari dua detik.
“Hmmm…” gumamnya, “puisimu selalu bagus, De. Tapi ya jangan untuk Kartini terus.” Ucapnya pelan. Ia tidak ingin membuat gadis kecilnya itu terbangun dari alam mimpinya. Beberapa saat kemudian, ia merasa kamar gadis kecil yang tidak lain adalah adiknya itu sudah cukup rapi, segera saja ia mematikan lampu belajar dan keluar menuju kamarnya yang berada tepat di depan kamar adiknya itu.
Setelah memastikan kakak semata wayangnya keluar dari kamar, gadis kecil tadi segera membuka matanya. Gelap. Namun pupil matanya sudah terbiasa melihat dalam keadaan gelap sehingga ia tidak merasa takut.
Baby bee..” tangan mungilnya meraih boneka anak lebah bercorak hitam dan kuning, “temenin aku bobo.” Ia segera mendekap erat boneka kesayangannya itu. Sayup-sayup terdengar suaranya berteriak dalam pelukan baby bee.
“Aku benci Kartini!”
@@@
“Perkenalkan nama saya Kartini..” Suara gaduh ruangan kelas mengalahkan lembut suara yang keluar dari bibir mungil seorang gadis kecil berseragam putih merah yang masih berdiri di depan teman-teman sekelasnya.
“Tok..tok..tok..” seorang guru paruh baya mengetuk meja dengan spidol berharap mampu meredam kegaduhan yang tercipta.
“Sudah jangan berisik! Dengarkan perkenalan teman baru kalian!” setengah berteriak guru paruh baya tersebut berhasil membuat keheningan di dalam ruangan kelas yang berukuran 7 m x 5 m.
“Teman baru kalian ini pindahan dari Bandung. Namanya Kartini..”
“Waaah..ada Ibu Kartini.” Potong seorang siswa yang duduk di pojok belakang. Sontak seluruh siswa tertawa dan kembali menggaduhkan suasana kelas.
“Sudah.. sudah!” Guru tadi segera mengambil kendali kelas. “Kamu duduk di sana ya, Kartini.” Jari telunjuk sang Guru mengarah tepat ke barisan kedua dari pintu. Mata Kartini mengarah ke bangku kosong tepat di sebelah kiri seorang siswa berkacamata cokelat. Ia segera melangkahkan kakinya menuju bangku itu berada. Segera ia hempaskan tubuh kecilnya di atas bangku kayu. Alat tulisnya sudah ia keluarkan namun pikirannya melayang jauh kembali ke hari di mana dirinya masih di tanah kelahirannya, Bandung.
@@@
“Ayah..” Kartini menarik lengan Ayahnya menuju sofa berwarna cream, “kenapa kita pindah?” tanyanya polos setelah mereka duduk di atas sofa. Ayah Kartini mengernyitkan keningnya dan memberikan senyuman sebelum menjawab pertanyaan anak bungsunya itu.
“Sayang..” tangan lebarnya mengelus kepala Kartini lembut, “kantor Bunda pindah ke Jakarta..”
“Kantor Ayah masih di sini, kan?” potong Kartini cepat.
“Iya, sayang..”
“Kita di sini saja, Yah.” Potongnya lagi.
“Kasihan Bunda, sayang. Bunda gak mau jauh sama kamu. Ayah kan gampang tinggal naik mobil. Jakarta ke Bandung paling lama cuma 3 jam.” Jelas Ayah yang hanya mampu membuat Kartini memajukan bibirnya beberapa senti. “Sudah, nanti di sana juga kamu akan punya teman, sayang. Ayah janji nanti di Jakarta Ayah akan ajak kamu main dan membuat kamu lebih bahagia di sana.”
“Kar mau main sama Ayah, Bunda, Kak Ryo dan Bi Tari, Yah!”
“Iya nanti kita bujuk Bunda supaya bisa libur kerja dan bisa main sama kita.”
“Bi Tari, Yah?”
“Iya, Bi Tari juga nanti kita ajak ya. Sudah sekarang kamu ke kamar, tidur.”
“Gak mau. Kar mau tunggu Bunda.”
“Bunda pulang malam, sayang. Besok kamu ngantuk waktu sekolah.”
“Biarin, yang penting Kar bisa ketemu Bunda.”
“Ya sudah, Ayah ke kamar ya, sayang. Capek.” Ayah memeluk Kartini, mengakhiri pembicaraan dan segera beranjak dari duduknya. Kartini hanya menatap sosok Ayahnya yang semakin hilang di balik pintu kamarnya. Ia tidak berniat mengejar Ayahnya. Ia juga tidak ingin masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia sudah membulatkan niatnya untuk menunggu Bunda pulang. Ia rindu sekali dengan Bunda dan ia juga ingin meminta satu hal sebelum mereka pindah ke Jakarta.
Jam dinding rumahnya sudah berdentang sembilan kali bertanda waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Ryo, kakak Kartini yang baru saja pulang latihan band segera menemukan adik semata wayangnya itu terlelap di sofa ruang tamu rumahnya.
“Ini anak malah tidur di sofa.” Gumam Ryo. Ia segera meletakkan tas, helm dan jaket di kamarnya, setelah itu ia kembali lagi ke ruang tamu. Ia menggendong tubuh kecil Kartini dan membawanya masuk ke dalam kamar. Keluar dari kamar adiknya, Ryo segera melangkahkan kakinya ke dapur dan menemui Bi Tari.
“Bi Tari..” Panggilnya di depan pintu kamar pembantunya yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri, “Ryo lapar, Bi.”
Tidak perlu menunggu lama, Bi Tari sudah keluar kamar dan berkutat dengan menu makanan yang diminta oleh Ryo. Kali ini Ryo minta dibuatkan mie telur rebus.
“Bi..” Ryo mencoba membuka pembicaraan, “tadi kok Ade tidur di sofa, Bi?” matanya melihat tajam ke arah Bi Tari yang masih mengaduk-aduk rebusan mie.
“Oh..” Bi Tari segera menolehkan wajahnya, “tadi katanya De Kar mau menunggu Bundanya pulang.” Jawab Bi Tari.
“Bibi gak tahu tuh kalau dia sampai ketiduran begitu.” Sambung Bi Tari lagi.
“Bunda belum pulang ya, Bi?” tanya Ryo kemudian.
“Kelihatannya belum. Baru Ayah yang pulang.” Bi Tari menyodorkan mie telur rebus ke arah Ryo. “Terima kasih, Bi.” Ucap Ryo.
“Kak..” panggilan Bi Tari menghentikan langkah Ryo. Ryo segera menolehkan wajahnya, “Kenapa, Bi?”
“Kapan kalian mau pindah?” pertanyaan singkat yang keluar dari mulut Bi Tari membuat Ryo terdiam bingung.
“Ryo gak tahu, Bi.” Jawab Ryo singkat. Sesaat mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Bi..” Ryo kembali membuka suara, “ikut ke Jakarta, kan?” selidiknya kemudian.
Bi Tari tersenyum, “anak-anak Bibi di sini, Kak. Gak mungkin Bibi meninggalkan mereka.” Selepas bicara demikian terlihat pancaran kecewa dari mata Ryo.
“Nanti Kakak dan De Kar juga bisa sering-sering main ke sini sama Ayah. Kantor Ayah masih di sini, kan?” Bi Tari berusaha menghilangkan kekecewaan anak majikannya itu.
“Ayah juga nanti mau mengurus surat-surat mutasi, Bi.” Ucapnya pelan nyaris tidak terdengar oleh Bi Tari.
“Sudah sana makan. Mie rebusnya nanti keburu dingin.” Ryo tersadar akan Mie rebus di tangannya. Ia segera membalas senyuman Bi Tari dan melenggang menuju meja makan.
“Lho..” Setengah kaget Ryo memandang adiknya yang sudah berada di meja makan, “De kamu bangun lagi?” Kartini enggan membuka suara, ia hanya menganggukkan kepalanya.
“Kenapa, De?” Ryo mencoba mengorek isi pikiran adiknya itu.
“Bunda belum pulang ya, Kak?” Kartini malah balik bertanya. Ryo yang sedang menyantap Mie rebusnya hanya menggelengkan kepalanya.
“Kangen sama Bunda?” Ryo mencoba menebak keinginan adiknya.
“Gak.”
“Terus?”
“Kakak ikut pindah sekolah?”
“Kakak sebentar lagi Ujian, De. Nanti kuliah baru Kakak di Jakarta. Kamu gak mau pindah?” Lagi Ryo menebak keinginan adiknya.
“Bukan begitu, Kak..” ia menggantung ucapannya memberi jeda dengan jawaban selanjutnya. “Pokoknya aku mau ketemu Bunda.” Kartini segera meninggalkan kakaknya yang masih menyantap Mie rebus. Terdengar suara kakaknya memanggil namanya namun ia tidak menggubris dan terus berlari menuju ruang tamu.
“Pokoknya aku mau ketemu Bunda dan minta satu hal sebelum pindah ke Jakarta.” Gumam Kartini. Ia kembali mengambil posisi di atas sofa cream. Beberapa menit kemudian rasa kantuk mulai menyerang pertahanannya. Berkali-kali ia menguap dan akhirnya ia tertidur kembali tepat saat deru mobil toyota yaris menggema di keheningan malam rumahnya.
@@@
“Kenapa kamu ke kantor Bunda, sayang?” Bunda yang masih di jam kerja terlihat begitu elegan dengan penampilannya. Bunda adalah seorang pegawai negeri di sebuah kantor perpajakan yang sangat bertangung jawab terhadap pekerjaannya bahkan rela meninggalkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
“Habis..”Suara Kartini seperti tertahan, “Kar selalu ketiduran kalau nunggu Bunda pulang ke rumah. Bunda selalu berangkat waktu Kar belum bangun tidur.” Matanya terus menatap lekat Bundanya yang tidak bergeming dengan jawaban Kartini.
“Maaf bunda lagi sibuk banget, sayang.” Bunda mulai memberi alasan. “Kamu ke sini mau bilang apa, sayang?”
“Kar kangen sama Bunda! Kar juga mau minta satu hal, Bun.” Ucapnya dengan mata yang berbinar-binar.
“Bunda juga kangen sama kamu, sayang!” Bunda memeluk erat Kartini. “Kamu mau minta apa, sayang?” tanya Bunda selembut mungkin.
“Kar mau Bunda ganti nama Kar. Kata Silvi, orang-orang Jakarta itu namanya keren-keren, Bun.” Kartini diam sejenak memberikan kesempatan Bundanya untuk mengomentari ucapannya.
“Siapa itu Silvi?”
“Teman sekolah Kar, Bun.”
“Bun..” ucapnya lagi setelah beberapa menit tidak ada komentar dari Bundanya, “Kar malu dipanggil Ibu Kartini terus!” Kartini tidak bisa lagi menutupi kekesalannya akibat teman-teman di sekolah yang selalu memanggilnya Ibu Kartini.
“Ibu Kartini itu seorang pejuang wanita kebanggaan Negara kita, sayang.” Bunda mencoba untuk memberi penjelasan. “Karena jasa beliau Bunda bisa bekerja membantu Ayah. Kamu bisa sekolah bertemu dan bermain bersama teman-temanmu.” Lagi Bunda mencoba menjelaskan pada buah hatinya itu.
“Tapi kata teman-teman nama Kar itu kampungan, Bun.” Kartini tidak mau kalah.
“Teman-teman kamu itu cuma iri saja sama nama kamu. Lagian nama boleh kampungan yang penting ini gak boleh kampungan ya, sayang!” Bunda menempelkan jari telunjuknya tepat ke samping kepalanya.
“Bunda mau kerja lagi ya. Kamu pulang duluan.” Bunda mencium kening Kartini dan segera mengantarkan anaknya itu menuju lobi kantornya. Di sana terlihat Bi Tari yang setia menunggu Kartini. Kembali lagi Bunda sibuk dengan sederet pekerjaan yang menunggunya.
@@@
Siang begitu cerah dengan matahari yang setia menyinari. Angin yang ikut menggerakkan dedaunan juga memberi suasana nyaman bagi para ibu yang setia menunggu anak-anak mereka. Beberapa tukang makanan yang mangkal di bawah pohon yang berada diantara taman dan sekolah pun ikut merasa nyaman dengan suasana siang itu. Terlihat beberapa anak yang masih menggunakan seragam putih merah sedang bermain ayunan di sebuah taman tepat di samping sekolah. Beberapa lainnya sedang asyik bertransaksi dengan para tukang makanan. Walaupun kantin sekolah berfungsi, namun tukang makanan yang mangkal itu tak luput juga dari rezeki yang diberikan anak-anak sekolah. Riuh rendah suara anak-anak menggaduhkan halaman sekolah. Hal yang wajar terjadi ketika mereka sedang istirahat sekolah.
“Ibu Kartini..” teriak beberapa anak perempuan bersamaan, “ikutan jajan di taman yuk!” seru mereka lagi. Kartini hanya menoleh dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak berniat sama sekali untuk bermain dengan teman-teman yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’ di awal namanya.
“Kamu gak jajan?” tanya siswa berkacamata cokelat yang duduk bersamanya. Lagi-lagi Kartini hanya menggelengkan kepalanya.
“Nama kamu Kartini, kan?” tanya siswa tadi.
“Iya.” Kartini menjawab singkat tanpa semangat. Tangannya masih berkutat dengan kertas yang lagi-lagi dicoret-coret dengan tulisannya.
“Kita belum kenalan.” Siswa tadi masih berusaha membuat sebuah percakapan dengan teman barunya itu. “Namaku Raditya Bejo. Kamu panggil aku Bejo saja.” Tangan kanannya sudah terjulur di depan mata Kartini membuat Kartini menghentikan gerakan jarinya di atas kertas. Kartini menoleh dan menatap sebuah senyuman yang tersungging ramah di hadapannya.
“Bejo?!” Tanya Kartini setengah kaget.
“Iya, Bejo. Kenapa?” tanya siswa tadi bingung.
“Kenapa gak dipanggil Radit, Aditya, atau Adit saja?!” Kartini masih heran dengan panggilan teman barunya.
“Kata Ibuku..” Bejo sudah menarik kembali tangannya yang tidak digubris Kartini, “Bejo itu punya arti yang bagus.” Terlihat pancaran matanya yang begitu bangga.
“Apa artinya?” Kartini mulai antusias dengan pembicaraannya.
“Beruntung. Jadi harapan Ibu agar kelak aku bisa selalu menjadi anak yang beruntung tidak hanya beruntung di dunia lho tapi juga beruntung di akhirat.” Lagi-lagi ia tersenyum ramah dan matanya yang masih saja menunjukkan rasa bangganya terhadap nama pemberian Ibunya itu.
“Kamu dipanggil apa?” tanya Bejo.
“Kar.” Jawab Kartini singkat.
“Aku suka nama kamu, Kar. Keren. Itu nama salah satu pahlawan perempuan kita, kan?” ia masih antusias membuat percakapan.
“Aku gak suka nama yang membuat aku dipanggil ‘Ibu’.” Ucapnya pelan namun masih dapat sampai di telinga Bejo. Kartini kembali berkutat dengan aksara yang masih belum selesai. Bejo kembali akan bersuara ketika seorang Ibu paruh baya dengan penampilan yang sederhana datang menghampiri Kartini.
“De Kar..” panggilan tadi membuyarkan pikiran Kartini. Ia segera menoleh ke arah suara yang sangat ia kenal.
“BI TARI!” Kartini terlonjak kaget demi melihat sosok yang sangat ia kenal. Bi Tari hanya tersenyum mendapat sebuah pelukan dari anak majikan yang sudah ia anggap anaknya sendiri.
“Bibi...” Kartini menggelayut manja di pelukan Bi tari, “Kar kangen, Bi.”
“Iya De Kar. Bibi juga kangen. Ini bibi bawain makanan buat De Kar. Masih istirahat kan?” Bi Tari segera membuka kotak makanan yang ia bawa.
“De, sini! Ikutan makan yuk!” Bi Tari menawarkan Bejo yang masih belum bergeming dari tempat duduknya di samping Kartini.
“Ayo, Bejo. Kita makan. Ini Bi Tari yang merawat aku. Masakannya enak lho!” Kartini menarik lengan Bejo agar ia mencicipi masakan Bi Tari. Bejo yang memang lapar akhirnya memakan juga makanan yang ada di mejanya itu.
“Hmmm..” Bejo masih mengunyah makanannya, “enaaak!” ucapnya. Kartini dan Bi Tari hanya tersenyum.
“Bi..” Kartini menghentikan aktivitas makannya, “kenapa ke Jakarta? Kak Ryo ikut?”
“Bunda bilang belum bisa mendapatkan pembantu baru di sini. Kakakmu kan masih sibuk dengan UN nya. Mungkin setelah kelulusan dia baru akan pindah ke Jakarta.” Jelas Bi Tari.
“Terus Kakak sama siapa di Bandung?” tanyanya lagi.
“Ada Mang Usep juga Ayahmu tiga hari ini di Bandung, sayang. Jadi Bibi ke sini buat menemani kamu.” Bi Tari mencubit pelan pipi Kartini. “Sudah, habiskan makananmu. Nanti keburu masuk.”
“Bi Tari, nunggu Kar sampai pulang sekolah kan?”
“Iya, sayang.” Berbarengan dengan ucapan Bi Tari bel masuk sekolah pun berdering. Bi Tari segera keluar dari kelas Kartini menuju taman yang sudah mulai lengang dari siswa berseragam putih merah.
“Anak-anak..” Suara bass guru paruh baya menggelegar di antara riuh rendah suara para murid, “bulan depan kita akan memperingati hari Kartini. Kelas 3-A akan menyumbangkan drama dengan judul Kartini, pahlawanku. Bapak sudah menuliskan beberapa peran dan kalian silahkan maju untuk mengambil undian peran masing-masing. Peran yang kalian dapat tidak boleh kalian tukar dengan peran lain.” Pak guru mengeluarkan toples yang berisi gulungan kertas-kertas kecil. Kemudian berdasarkan absen, para siswa dengan tertib mengambil undian peran tersebut.
“Kartini Azmi.” Kartini segera melangkahkan kakinya menuju meja Pak guru. Tangan mungilnya mulai merogoh toples yang mulai terlihat kosong. Ia memberikan undian peran tersebut kepada Pak guru.
“Semoga gak kebagian peran si Kartini.” Gumamnya sendiri.
“Waaah..” Suara Pak guru membuat para murid tak terkecuali Kartini serentak menatap wajah paruh baya itu, “kita dapat pemeran utamanya. Cocok dengan nama aslinya, Kartini.” Sumringah Pak guru menatap Kartini yang malah tampak kecewa.
“Pas banget, Ibu Kartini.” Celetuk seorang siswa yang terdengar menyakitkan di telinga Kartini. Kartini menyeret langkahnya yang ia rasa semakin berat. Ia tatap wajah Bejo yang sama sumringahnya dengan Pak guru. Ia tidak yakin bisa memerankan peran orang yang sangat ia benci.
@@@
“Ngiung..ngiung..ngiung…” bunyi sirine ambulance bergema dikeheningan malam. Memecah kekhusyuan peri malam yang betah bergulat dengan kelam. Isak tangispun ikut pecah memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya. Tangan kekar Ryo memeluk Kartini erat, seolah mencoba memberi kekuatan pada adiknya padahal ia sendiri juga belum memiliki kekuatan itu sepenuhnya. Bunda terlihat histeris dalam pelukan Bi Tari. Sesosok laki-laki bertubuh tambun tergolek tak berdaya di sebuah tandu Rumah Sakit. Badannya dibanjiri darah segar yang belum mengering. Kini tandu itu menghilang tertelan dalam ruangan bertuliskan instalasi gawat darurat. Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Ia memberikan kabar duka yang lebih menyesakkan dada.
“Maaf, Bu. Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi memang takdir Bapak harus sampai di sini. Luka di kepalanya terlalu parah sehingga ia sangat kehilangan banyak darah dan akhirnya tidak mampu bertahan. Kami turut berduka cita.”
Bunda tidak kuat menerima kenyataan pahit yang baru saja ia dengar, ia jatuh pingsan. Kartini yang sangat menyayangi Ayahnya pun tak kuasa bertahan dalam pelukan kakaknya, ia pun jatuh tak sadarkan diri.
Ketika sadar, Kartini bingung mengapa kepalanya begitu berat dan begitu banyak orang di rumahnya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi, dan ia ingat ayahnya kecelakaan sewaktu pulang dari kantornya yang berada di Bandung menuju rumahnya yang kini berada di kawasan Jakarta. Kemudian mereka ke Rumah Sakit dan barusan adalah prosesi pemakaman Ayah tercintanya. Ia segera beranjak dari tidurnya. Ia mencubit tangannya keras-keras.
“Aduh! Sakit.” Ini bukan mimpi, pikirnya.
“Ayaaaaah!” Kartini menghambur keluar kamar dan menyeruak diantara orang-orang yang mulai meninggalkan rumah mereka.
“De..” Bi Tari segera memeluk dan menenangkan Kartini. Kartini meronta-ronta.
“Bunda!!” masih dalam pelukan Bi Tari, Kartini berteriak memanggil Bunda. Bunda yang juga masih shock segera menoleh mendengar dirinya dipanggil oleh putri bungsunya.
“Ini semua gara-gara Bunda!” Kartini meronta sekuat tenaga dan berhasil lepas dari pelukan Bi Tari. Ia berdiri sejajar dengan Bunda yang tengah duduk.
“Kenapa, sayang?” Bunda mencoba meraih tangan mungil Kartini. Namun Kartini menepisnya cepat.
“Ayah meninggal gara-gara Bunda!” Kartini masih menyalahkan Bunda.
“Ayahmu kecelakaan, sayang. Bunda juga gak mau Ayah meninggal, Bunda juga sedih.” Ucap Bundanya menahan isak tangisnya.
“Kalau kita gak pindah ke Jakarta, kalau Bunda gak mikirin kerjaan melulu, kalau Bunda gak egois, dan kalau Ayah gak harus pulang pergi Jakarta Bandung buat kerja pasti Ayah gak akan kecelakaan! Ini semua karena Bunda! Kar Benci sama Bunda, Benci!!” Kartini segera berlari menuju kamarnya.
“Brakk!” dentuman pintu kamar Kartini terdengar keras menghentikan langkah Ryo dan Bi Tari yang mencoba untuk mengejarnya.
“De!” panggil Ryo dan Bi Tari bersamaan. Berkali-kali pun mereka meneriakkan nama Kartini, yang punya kamar tidak juga membuka pintu kamarnya. Ryo dan Bi Tari sepakat untuk meinggalkan kamar Kartini dan beralih pada Bunda yang pasti tambah shock dengan perkataan Kartini barusan. Di dalam kamarnya, Kartini menangis sejadi-jadinya. Ia mendekap erat boneka Baby Beenya dan mengumpat Ibu Kartini sebagai biang keladi dari semua kejadian pahit yang menimpa dirinya.
Beberapa hari kemudian, Bi Tari dan Ryo yang baru saja selesai mengikuti UN tinggal di Jakarta. Bunda yang walaupun masih dalam keadaan shock harus tetap masuk kerja. Dan Kartini yang masih bersitegang dengan Bunda tak lagi bisa dikatakan ceria, ia kerap terlihat bermuka sedih ditambah latihan drama yang sangat memuakkan baginya.
“De Kar, sayang!” panggil Bunda. Bunda sengaja beberapa hari ini pulang kerja lebih cepat berharap bisa bertemu dan memperbaiki hubungannya dengan putri bungsunya itu. Kartini yang kebetulan lewat kamar Bundanya segera berjalan cepat menuju kamarnya. Ia masih belum bisa berdamai dengan Bundanya.
“Sabar, Bun. Nanti Ryo coba bujuk De Kar.” Ryo mengelus punggung Bunda tercintanya. Miris hatinya melihat dua perempuan terkasihnya tidak akur seperti itu.
Di kamarnya, Kartini menulis beberapa kata yang tidak lain ia tujukan kepada Ibu Kartini. Kamarnya begitu berantakan. Kertas-kertas berserakan di atas meja belajarnya. Ia sengaja mematikan lampu kamarnya dan hanya menyalakan lampu belajarnya agar dikira sudah tidur. Sampai akhirnya ia tertidur dan tidak menyadari kakaknya yang membuka pintu kamarnya dan membereskan kamarnya yang berantakan.
@@@
“Buat aku, nama dari orang tua itu adalah doa. Mungkin Bundamu memilihkan nama Kartini supaya nanti kalau kamu besar, kamu bisa jadi Kartini masa kini. Menjadi sosok yang bisa menjadi panutan banyak orang seperti Ibu Kartini. Buat aku nama kamu itu keren. Kalau memang ada yang nambahin ‘Ibu’ di awal namamu, ya biarin saja. Anggap saja itu doa dari mereka supaya kamu bisa menjadi Ibu Kartini masa kini.” Bejo menjawab panjang kali lebar kali tinggi pertanyaan Kartini yang hanya sekalimat. “Bejo, kenapa kamu gak malu dengan nama Bejo itu?”
Kartini hanya menyimak jawaban Bejo. “Kar, sewaktu Ayahmu masih hidup, apa Bundamu pernah memarahimu tanpa alasan?” tanya Bejo. Kartini menggelengkan kepalanya.
“Aku jarang bisa bertemu Bunda. Makanya aku lebih sayang sama Ayah daripada Bunda.”
“Terus, Bundamu suka beliin baju, boneka atau apa saja yang bikin kamu senang?”
“Sering. Boneka Baby Bee ku itu hadiah dari Bunda.”
“Terus siapa yang ngasih kamu uang jajan? Ayah atau Bundamu?”
“Dua-duanya, Jo.”
“Tuh kan! Bundamu itu sebenernya sayang sama kamu. Kalau dia gak sayang dia gak akan membelikan boneka atau lainnya, dia juga gak akan ngasih uang jajan, Kar! Sudah baikan sama Bundamu.”
“Gak mau. Aku masih benci sama Bunda yang sudah bikin Ayah meninggal!” Kartini segera berlari sekencang mungkin menuju rumahnya. Bejo yang sudah jauh-jauh mengantarkan Kartini pulang ke rumah sekalian mau meminjam buku itu malah ditinggal dan ia hanya mampu mengelus dada atas sikap teman barunya itu.
“De..” Suara Ryo mengagetkan Kartini.
“Kakak bikin kaget saja!”
“Kamu ngapain bengong di ruang tamu? Baru pulang itu langsung ganti baju, De.” Ucap Ryo selembut mungkin tidak ingin membuat adiknya itu diserang kemarahan lagi.
“Iya.” Kartini segera beranjak dari duduknya.
“De, kok pulangnya sore banget?” tanya Ryo.
“Ada latihan drama buat hari Kartini, Kak.” Jawab Kartini sambil menyeret tasnya menuju kamarnya.
“Wah..” Ryo antusias, “kamu dapat peran apa, De?” Ia melangkahkan kakinya pelan mensejajari langkah kecil adiknya.
“Peran yang paling gak penting.” Jawabnya malas.
“Sabar ya, De. Mungkin hari Kartini tahun depan kamu dapat peran utama jadi Ibu Katini.” Kartini menolehkan wajahnya menatap Kak Ryo.
“Justru Kar selalu dapet peran itu, Kak! Gak di Bandung gak di Jakarta selalu dapet peran jadi si Kartini. Sebel banget!” muka kecil Kartini memerah menahan kekesalan. Ryo yang sudah hapal sekali sifat adiknya itu segera tersenyum.
“De..” senyumnya menyungging jelas membuat Kartini bingung, “Taman Mini lagi ada diskon nonton di keong mas. Kakak sudah beli dua tiket nih. Besok nonton yuk!” Kakaknya menyodorkan dua tiket keemasan ke hadapan Kartini. Ia langsung menyambar tiket tersebut.
“Film apa saja, Kak?” tanyanya antusias.
“Nih, baca saja brosurnya.” Ryo kembali menyodorkan selembar kertas kepada adiknya itu. Mata kartini berkutat pada tulisan yang berada di sebelah kanan brosur.
“Oke. Makasih, Kak!” Ia segera memeluk Kakaknya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Keesokan harinya, selepas menonton film blue planet Kartini bersama Kakaknya, Ryo berjalan-jalan di sekeliling anjungan yang ada di TMII.
“De, Bunda kangen sama kamu.” Ucap Ryo pelan, ia mencoba memberi tekanan di akhir kalimatnya. Kartini hanya diam, bingung hendak menjawab apa.
“De, tahu gak? Ayah itu sangat teramat mencintai Bunda. Ayah sebenarnya sedang mengurus surat-surat mutasi. Ayah juga mau pindah ke kantor yang di Jakarta biar kita sekeluarga bisa kumpul lagi.” Ryo sengaja diam, memberikan kesempatan bagi adiknya untuk ikut bersuara. Namun sepertinya Kartini lebih memilih untuk menyimak saja.
“Nama kamu itu adalah permintaan, amanat dari Ibunya Kakek, Eyang kita.”
“Kok bisa, Kak?”
“Jadi Kakek pernah cerita sewaktu Kakak masih kecil. Ibunya Kakek, Eyang kita itu adalah salah satu orang yang secara langsung bertemu dan berjuang bersama Ibu Kartini. Eyang ingin sekali memberikan nama anaknya dengan nama Kartini, namun semua anaknya adalah laki-laki termasuk kakek. Akhirnya diamanatkanlah kepada kakek selaku anak bungsu Eyang. Kakek pun ternyata memiliki anak laki-laki semua termasuk Ayah. Dan kamulah cucu perempuan Kakek yang pertama. Kalau kakek masih hidup, pasti dia senang sekali melihat kamu lahir waktu itu. Makanya Bunda tidak bisa menuruti permintaanmu. Seharusnya kamu bersyukur, kamu adalah perempuan yang diidam-idamkan sejak Eyang masih ada sampai Ayah sudah tiada.” Ryo menatap adiknya yang masih saja asyik menyimak ceritanya.
“De, semua yang terjadi dalam hidup kita bukan karena orang-orang yang ada di sekitar kita. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Termasuk kepergian Ayah yang sangat cepat. Bukan hanya kamu yang sedih, Kakak, Bunda, Bi Tari dan semua keluarga kita bersedih. Kalau Bunda tahu Ayah akan meninggal, ia pasti sudah melarang Ayah untuk mengurus surat mutasi hari itu. Tapi memang sudah ditakdirkan seperti ini, De. Kita sebagai ciptaan-Nya hanya bisa bersabar dan tawakal. Kamu masih kecil tapi Kakak harap kamu sedikit mengerti perasaan Bunda.” Kartini segera memeluk Kakaknya. Air matanya berderai deras membasahi kaos yang dipakai Ryo.
“Maafin Kar, Kak! Kar sayang sama Kakak, Bunda, Ayah, Bi Tari. Kar sayang!” ucapnya disela-sela isak tangisnya.
“Sudah, pulang yuk!” Kartini mendongakkan kepalanya menatap Kakaknya, Ryo.
“Gendong, Kak!” bujuknya manja.
“Apa?! Gak mau! Kamu sudah gede, berat!” Ryo berpura-pura kabur dan segera ditarik-tarik oleh Kartini. Lima menit mereka kejar-kejaran, air mata kartini juga sudah mengering seiring tawanya yang kian membahana. Akhirnya Ryo mengalah dan menggendong adiknya itu sampai parkiran motor.
Sesampainya di rumah.
“Bundaaaaa!” Kartini menghambur dalam pelukan Bunda yang sudah menungu kedatangan mereka.
“Sayang.. Maafin Bunda, ya! Bunda janji akan selalu luangin waktu buat kamu.” Bunda terisak memeluk gadis kecilnya itu.
“Kar yang minta maaf, Bun. Kar janji akan jadi Kartini masa kini sesuai permintaan Eyang dan Kakek. Kar janji akan buat Ayah, Bunda, Kak Ryo dan Bi Tari bangga sama Kar.” Bunda segera mengecup kening Kartini, lalu kembali memeluknya erat. Ryo dan Bi Tari tersenyum melihat Bunda dan Kartini yang saling berpelukan.
@@@
Satu minggu kemudian.
Kartini sudah didandani dengan kebaya dan sanggul di kepalanya. Ia terlihat begitu cantik. Drama peringatan hari Kartini pun dimulai. Kartini yang berperan sebagai Ibu Kartini segera menuju panggung dan menjalankan skenario yang sudah dihapalnya. Matanya melirik ke arah bangku penonton. Tampak di pelupuk matanya, Bunda, Kak Ryo dan Bi Tari berada di deretan kursi pertama. Ia pun tersenyum manis pada mereka. Matanya kemudian mengawang menatap langit yang membiru. Tampak wajah Ayah dan Ibu Kartini yang juga memberikan senyuman kepadanya.
“Ah, Ayah.. lihatlah aku, akan ku wujudkan cita-cita Eyang menjadi Kartini masa kini. Bu Kartini, terimalah suratku yang pertama kalinya memujimu dan lupakanlah semua surat dan puisiku selama ini yang selalu mencacimu” batin Kartini. Ia mengingat baris kata yang ia tulis di kertas selembar di kamarnya.
Teruntuk Kartini
Dari
Kartini
Entah bagaimana permohonan maafku dapat kau terima. Jika selama ini aku hanya mencacimu, hanya menghujatmu dengan kata-kata pedas. Namun tetap aku akan meminta maaf kepadamu. Kini aku sadari, kau lah panutanku agar aku dapat membahagiakan Ayah di alam sana, Bunda, Kak Ryo, dan Bi Tari. Aku memang masih kecil, namun aku yakin aku bisa memiliki semangatmu yang membara dalam membela kebenaran. Kau lihatlah aku dari sana, tersenyumlah karena aku akan menjadi dirimu di masaku sekarang. Menjadi Kartini masa kini. Terimalah suratku ini wahai Ibu Kartini dan lupakanlah bahwa aku pernah membencimu.
                                                                                       Salam hangat selalu,
                                                                                       Kartini.
_END_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar