Andai dapat ku
tempuh
Jalan rumit
menujumu
Menerobos ruang
dan waktu
Mencoba tuk
berjumpa denganmu
Meski dalam
kurun waktu
Sesingkat-singkatnya
Untuk memelukmu
kah?
Sekadar melepas
rindu?
Atau hanya
menyalamimu sajakah?
Bukan
Bukan untuk itu
semua
Melainkan untuk
mencaci maki
Memarahimu
Atas kehidupanku
sekarang
Aku sangat
membencimu
Kartini..
@@@
Seorang gadis kecil tertidur dengan
kepala mungilnya menindih kedua tangan yang menelungkup di atas meja belajar.
Terlihat beberapa kertas dan alat tulis lain berserakan di sekelilingnya. Lampu
kamarnya sudah digantikan oleh lampu belajar yang tentu tidak mampu menerangi
kamar yang terbilang luas untuk ditempati oleh anak seusianya. Meski dalam
keremangan, masih dapat terlihat kondisi kamar yang semula rapi kini seperti
gudang yang tidak terawat. Berantakan.
“Cklek..” terdengar suara daun
pintu dibuka. Tidak lama kemudian terlihat sosok laki-laki dengan perawakan
cukup tegap dan tinggi yang hampir sejajar dengan daun pintu menghampiri gadis
kecil yang tengah terlelap di alam mimpinya. Ia merangkul gadis tadi dalam
dekapannya dan segera membaringkannya di atas tempat tidur. Setelah menyelimuti
gadis tadi, ia segera merapikan meja belajar gadis kecilnya itu. Tangan besarnya
meraih beberapa kertas yang sudah tidak polos lagi. Bola mata nan hitam dibalik
lensa berbingkai biru terlihat tajam menatap tinta yang telah tergores dalam
kertas yang ia pegang. Ia pun mengambil nafas panjang dan menghembuskannya
dalam waktu kurang dari dua detik.
“Hmmm…” gumamnya, “puisimu selalu
bagus, De. Tapi ya jangan untuk Kartini terus.” Ucapnya pelan. Ia tidak ingin
membuat gadis kecilnya itu terbangun dari alam mimpinya. Beberapa saat
kemudian, ia merasa kamar gadis kecil yang tidak lain adalah adiknya itu sudah
cukup rapi, segera saja ia mematikan lampu belajar dan keluar menuju kamarnya
yang berada tepat di depan kamar adiknya itu.
Setelah memastikan kakak semata
wayangnya keluar dari kamar, gadis kecil tadi segera membuka matanya. Gelap.
Namun pupil matanya sudah terbiasa melihat dalam keadaan gelap sehingga ia
tidak merasa takut.
“Baby bee..” tangan mungilnya meraih boneka anak lebah bercorak
hitam dan kuning, “temenin aku bobo.” Ia segera mendekap erat boneka
kesayangannya itu. Sayup-sayup terdengar suaranya berteriak dalam pelukan baby bee.
“Aku benci Kartini!”
@@@
“Perkenalkan nama saya Kartini..”
Suara gaduh ruangan kelas mengalahkan lembut suara yang keluar dari bibir
mungil seorang gadis kecil berseragam putih merah yang masih berdiri di depan
teman-teman sekelasnya.
“Tok..tok..tok..” seorang guru
paruh baya mengetuk meja dengan spidol berharap mampu meredam kegaduhan yang
tercipta.
“Sudah jangan berisik! Dengarkan perkenalan
teman baru kalian!” setengah berteriak guru paruh baya tersebut berhasil
membuat keheningan di dalam ruangan kelas yang berukuran 7 m x 5 m.
“Teman baru kalian ini pindahan
dari Bandung. Namanya Kartini..”
“Waaah..ada Ibu Kartini.” Potong
seorang siswa yang duduk di pojok belakang. Sontak seluruh siswa tertawa dan
kembali menggaduhkan suasana kelas.
“Sudah.. sudah!” Guru tadi segera
mengambil kendali kelas. “Kamu duduk di sana ya, Kartini.” Jari telunjuk sang
Guru mengarah tepat ke barisan kedua dari pintu. Mata Kartini mengarah ke
bangku kosong tepat di sebelah kiri seorang siswa berkacamata cokelat. Ia segera
melangkahkan kakinya menuju bangku itu berada. Segera ia hempaskan tubuh
kecilnya di atas bangku kayu. Alat tulisnya sudah ia keluarkan namun pikirannya
melayang jauh kembali ke hari di mana dirinya masih di tanah kelahirannya,
Bandung.
@@@
“Ayah..” Kartini menarik lengan
Ayahnya menuju sofa berwarna cream,
“kenapa kita pindah?” tanyanya polos setelah mereka duduk di atas sofa. Ayah
Kartini mengernyitkan keningnya dan memberikan senyuman sebelum menjawab
pertanyaan anak bungsunya itu.
“Sayang..” tangan lebarnya mengelus
kepala Kartini lembut, “kantor Bunda pindah ke Jakarta..”
“Kantor Ayah masih di sini, kan?”
potong Kartini cepat.
“Iya, sayang..”
“Kita di sini saja, Yah.” Potongnya
lagi.
“Kasihan Bunda, sayang. Bunda gak
mau jauh sama kamu. Ayah kan gampang tinggal naik mobil. Jakarta ke Bandung
paling lama cuma 3 jam.” Jelas Ayah yang hanya mampu membuat Kartini memajukan
bibirnya beberapa senti. “Sudah, nanti di sana juga kamu akan punya teman,
sayang. Ayah janji nanti di Jakarta Ayah akan ajak kamu main dan membuat kamu
lebih bahagia di sana.”
“Kar mau main sama Ayah, Bunda, Kak
Ryo dan Bi Tari, Yah!”
“Iya nanti kita bujuk Bunda supaya
bisa libur kerja dan bisa main sama kita.”
“Bi Tari, Yah?”
“Iya, Bi Tari juga nanti kita ajak
ya. Sudah sekarang kamu ke kamar, tidur.”
“Gak mau. Kar mau tunggu Bunda.”
“Bunda pulang malam, sayang. Besok
kamu ngantuk waktu sekolah.”
“Biarin, yang penting Kar bisa
ketemu Bunda.”
“Ya sudah, Ayah ke kamar ya,
sayang. Capek.” Ayah memeluk Kartini, mengakhiri pembicaraan dan segera
beranjak dari duduknya. Kartini hanya menatap sosok Ayahnya yang semakin hilang
di balik pintu kamarnya. Ia tidak berniat mengejar Ayahnya. Ia juga tidak ingin
masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia sudah membulatkan niatnya untuk menunggu
Bunda pulang. Ia rindu sekali dengan Bunda dan ia juga ingin meminta satu hal
sebelum mereka pindah ke Jakarta.
Jam dinding rumahnya sudah
berdentang sembilan kali bertanda waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Ryo,
kakak Kartini yang baru saja pulang latihan band
segera menemukan adik semata wayangnya itu terlelap di sofa ruang tamu
rumahnya.
“Ini anak malah tidur di sofa.”
Gumam Ryo. Ia segera meletakkan tas, helm dan jaket di kamarnya, setelah itu ia
kembali lagi ke ruang tamu. Ia menggendong tubuh kecil Kartini dan membawanya
masuk ke dalam kamar. Keluar dari kamar adiknya, Ryo segera melangkahkan
kakinya ke dapur dan menemui Bi Tari.
“Bi Tari..” Panggilnya di depan
pintu kamar pembantunya yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri, “Ryo lapar,
Bi.”
Tidak perlu menunggu lama, Bi Tari
sudah keluar kamar dan berkutat dengan menu makanan yang diminta oleh Ryo. Kali
ini Ryo minta dibuatkan mie telur rebus.
“Bi..” Ryo mencoba membuka
pembicaraan, “tadi kok Ade tidur di sofa, Bi?” matanya melihat tajam ke arah Bi
Tari yang masih mengaduk-aduk rebusan mie.
“Oh..” Bi Tari segera menolehkan wajahnya,
“tadi katanya De Kar mau menunggu Bundanya pulang.” Jawab Bi Tari.
“Bibi gak tahu tuh kalau dia sampai
ketiduran begitu.” Sambung Bi Tari lagi.
“Bunda belum pulang ya, Bi?” tanya
Ryo kemudian.
“Kelihatannya belum. Baru Ayah yang
pulang.” Bi Tari menyodorkan mie telur rebus ke arah Ryo. “Terima kasih, Bi.”
Ucap Ryo.
“Kak..” panggilan Bi Tari
menghentikan langkah Ryo. Ryo segera menolehkan wajahnya, “Kenapa, Bi?”
“Kapan kalian mau pindah?”
pertanyaan singkat yang keluar dari mulut Bi Tari membuat Ryo terdiam bingung.
“Ryo gak tahu, Bi.” Jawab Ryo
singkat. Sesaat mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Bi..” Ryo kembali membuka suara,
“ikut ke Jakarta, kan?” selidiknya kemudian.
Bi Tari tersenyum, “anak-anak Bibi
di sini, Kak. Gak mungkin Bibi meninggalkan mereka.” Selepas bicara demikian
terlihat pancaran kecewa dari mata Ryo.
“Nanti Kakak dan De Kar juga bisa
sering-sering main ke sini sama Ayah. Kantor Ayah masih di sini, kan?” Bi Tari
berusaha menghilangkan kekecewaan anak majikannya itu.
“Ayah juga nanti mau mengurus
surat-surat mutasi, Bi.” Ucapnya pelan nyaris tidak terdengar oleh Bi Tari.
“Sudah sana makan. Mie rebusnya
nanti keburu dingin.” Ryo tersadar akan Mie rebus di tangannya. Ia segera
membalas senyuman Bi Tari dan melenggang menuju meja makan.
“Lho..” Setengah kaget Ryo
memandang adiknya yang sudah berada di meja makan, “De kamu bangun lagi?”
Kartini enggan membuka suara, ia hanya menganggukkan kepalanya.
“Kenapa, De?” Ryo mencoba mengorek
isi pikiran adiknya itu.
“Bunda belum pulang ya, Kak?”
Kartini malah balik bertanya. Ryo yang sedang menyantap Mie rebusnya hanya
menggelengkan kepalanya.
“Kangen sama Bunda?” Ryo mencoba
menebak keinginan adiknya.
“Gak.”
“Terus?”
“Kakak ikut pindah sekolah?”
“Kakak sebentar lagi Ujian, De.
Nanti kuliah baru Kakak di Jakarta. Kamu gak mau pindah?” Lagi Ryo menebak
keinginan adiknya.
“Bukan begitu, Kak..” ia
menggantung ucapannya memberi jeda dengan jawaban selanjutnya. “Pokoknya aku
mau ketemu Bunda.” Kartini segera meninggalkan kakaknya yang masih menyantap
Mie rebus. Terdengar suara kakaknya memanggil namanya namun ia tidak menggubris
dan terus berlari menuju ruang tamu.
“Pokoknya aku mau ketemu Bunda dan
minta satu hal sebelum pindah ke Jakarta.” Gumam Kartini. Ia kembali mengambil
posisi di atas sofa cream. Beberapa
menit kemudian rasa kantuk mulai menyerang pertahanannya. Berkali-kali ia
menguap dan akhirnya ia tertidur kembali tepat saat deru mobil toyota yaris
menggema di keheningan malam rumahnya.
@@@
“Kenapa kamu ke kantor Bunda, sayang?”
Bunda yang masih di jam kerja terlihat begitu elegan dengan penampilannya.
Bunda adalah seorang pegawai negeri di sebuah kantor perpajakan yang sangat
bertangung jawab terhadap pekerjaannya bahkan rela meninggalkan tugasnya
sebagai ibu rumah tangga.
“Habis..”Suara Kartini seperti
tertahan, “Kar selalu ketiduran kalau nunggu Bunda pulang ke rumah. Bunda
selalu berangkat waktu Kar belum bangun tidur.” Matanya terus menatap lekat
Bundanya yang tidak bergeming dengan jawaban Kartini.
“Maaf bunda lagi sibuk banget,
sayang.” Bunda mulai memberi alasan. “Kamu ke sini mau bilang apa, sayang?”
“Kar kangen sama Bunda! Kar juga mau
minta satu hal, Bun.” Ucapnya dengan mata yang berbinar-binar.
“Bunda juga kangen sama kamu,
sayang!” Bunda memeluk erat Kartini. “Kamu mau minta apa, sayang?” tanya Bunda
selembut mungkin.
“Kar mau Bunda ganti nama Kar. Kata
Silvi, orang-orang Jakarta itu namanya keren-keren, Bun.” Kartini diam sejenak
memberikan kesempatan Bundanya untuk mengomentari ucapannya.
“Siapa itu Silvi?”
“Teman sekolah Kar, Bun.”
“Bun..” ucapnya lagi setelah
beberapa menit tidak ada komentar dari Bundanya, “Kar malu dipanggil Ibu
Kartini terus!” Kartini tidak bisa lagi menutupi kekesalannya akibat
teman-teman di sekolah yang selalu memanggilnya Ibu Kartini.
“Ibu Kartini itu seorang pejuang
wanita kebanggaan Negara kita, sayang.” Bunda mencoba untuk memberi penjelasan.
“Karena jasa beliau Bunda bisa bekerja membantu Ayah. Kamu bisa sekolah bertemu
dan bermain bersama teman-temanmu.” Lagi Bunda mencoba menjelaskan pada buah
hatinya itu.
“Tapi kata teman-teman nama Kar itu
kampungan, Bun.” Kartini tidak mau kalah.
“Teman-teman kamu itu cuma iri saja
sama nama kamu. Lagian nama boleh kampungan yang penting ini gak boleh
kampungan ya, sayang!” Bunda menempelkan jari telunjuknya tepat ke samping
kepalanya.
“Bunda mau kerja lagi ya. Kamu
pulang duluan.” Bunda mencium kening Kartini dan segera mengantarkan anaknya
itu menuju lobi kantornya. Di sana terlihat Bi Tari yang setia menunggu
Kartini. Kembali lagi Bunda sibuk dengan sederet pekerjaan yang menunggunya.
@@@
Siang begitu cerah dengan matahari
yang setia menyinari. Angin yang ikut menggerakkan dedaunan juga memberi
suasana nyaman bagi para ibu yang setia menunggu anak-anak mereka. Beberapa
tukang makanan yang mangkal di bawah pohon yang berada diantara taman dan
sekolah pun ikut merasa nyaman dengan suasana siang itu. Terlihat beberapa anak
yang masih menggunakan seragam putih merah sedang bermain ayunan di sebuah
taman tepat di samping sekolah. Beberapa lainnya sedang asyik bertransaksi
dengan para tukang makanan. Walaupun kantin sekolah berfungsi, namun tukang
makanan yang mangkal itu tak luput juga dari rezeki yang diberikan anak-anak
sekolah. Riuh rendah suara anak-anak menggaduhkan halaman sekolah. Hal yang
wajar terjadi ketika mereka sedang istirahat sekolah.
“Ibu Kartini..” teriak beberapa
anak perempuan bersamaan, “ikutan jajan di taman yuk!” seru mereka lagi.
Kartini hanya menoleh dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak berniat sama sekali
untuk bermain dengan teman-teman yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’ di awal
namanya.
“Kamu gak jajan?” tanya siswa
berkacamata cokelat yang duduk bersamanya. Lagi-lagi Kartini hanya
menggelengkan kepalanya.
“Nama kamu Kartini, kan?” tanya
siswa tadi.
“Iya.” Kartini menjawab singkat
tanpa semangat. Tangannya masih berkutat dengan kertas yang lagi-lagi
dicoret-coret dengan tulisannya.
“Kita belum kenalan.” Siswa tadi
masih berusaha membuat sebuah percakapan dengan teman barunya itu. “Namaku
Raditya Bejo. Kamu panggil aku Bejo saja.” Tangan kanannya sudah terjulur di
depan mata Kartini membuat Kartini menghentikan gerakan jarinya di atas kertas.
Kartini menoleh dan menatap sebuah senyuman yang tersungging ramah di
hadapannya.
“Bejo?!” Tanya Kartini setengah
kaget.
“Iya, Bejo. Kenapa?” tanya siswa
tadi bingung.
“Kenapa gak dipanggil Radit,
Aditya, atau Adit saja?!” Kartini masih heran dengan panggilan teman barunya.
“Kata Ibuku..” Bejo sudah menarik
kembali tangannya yang tidak digubris Kartini, “Bejo itu punya arti yang bagus.”
Terlihat pancaran matanya yang begitu bangga.
“Apa artinya?” Kartini mulai
antusias dengan pembicaraannya.
“Beruntung. Jadi harapan Ibu agar
kelak aku bisa selalu menjadi anak yang beruntung tidak hanya beruntung di
dunia lho tapi juga beruntung di akhirat.” Lagi-lagi ia tersenyum ramah dan
matanya yang masih saja menunjukkan rasa bangganya terhadap nama pemberian
Ibunya itu.
“Kamu dipanggil apa?” tanya Bejo.
“Kar.” Jawab Kartini singkat.
“Aku suka nama kamu, Kar. Keren.
Itu nama salah satu pahlawan perempuan kita, kan?” ia masih antusias membuat
percakapan.
“Aku gak suka nama yang membuat aku
dipanggil ‘Ibu’.” Ucapnya pelan namun masih dapat sampai di telinga Bejo.
Kartini kembali berkutat dengan aksara yang masih belum selesai. Bejo kembali
akan bersuara ketika seorang Ibu paruh baya dengan penampilan yang sederhana
datang menghampiri Kartini.
“De Kar..” panggilan tadi
membuyarkan pikiran Kartini. Ia segera menoleh ke arah suara yang sangat ia
kenal.
“BI TARI!” Kartini terlonjak kaget
demi melihat sosok yang sangat ia kenal. Bi Tari hanya tersenyum mendapat
sebuah pelukan dari anak majikan yang sudah ia anggap anaknya sendiri.
“Bibi...” Kartini menggelayut manja
di pelukan Bi tari, “Kar kangen, Bi.”
“Iya De Kar. Bibi juga kangen. Ini
bibi bawain makanan buat De Kar. Masih istirahat kan?” Bi Tari segera membuka
kotak makanan yang ia bawa.
“De, sini! Ikutan makan yuk!” Bi
Tari menawarkan Bejo yang masih belum bergeming dari tempat duduknya di samping
Kartini.
“Ayo, Bejo. Kita makan. Ini Bi Tari
yang merawat aku. Masakannya enak lho!” Kartini menarik lengan Bejo agar ia
mencicipi masakan Bi Tari. Bejo yang memang lapar akhirnya memakan juga makanan
yang ada di mejanya itu.
“Hmmm..” Bejo masih mengunyah
makanannya, “enaaak!” ucapnya. Kartini dan Bi Tari hanya tersenyum.
“Bi..” Kartini menghentikan
aktivitas makannya, “kenapa ke Jakarta? Kak Ryo ikut?”
“Bunda bilang belum bisa
mendapatkan pembantu baru di sini. Kakakmu kan masih sibuk dengan UN nya.
Mungkin setelah kelulusan dia baru akan pindah ke Jakarta.” Jelas Bi Tari.
“Terus Kakak sama siapa di
Bandung?” tanyanya lagi.
“Ada Mang Usep juga Ayahmu tiga
hari ini di Bandung, sayang. Jadi Bibi ke sini buat menemani kamu.” Bi Tari
mencubit pelan pipi Kartini. “Sudah, habiskan makananmu. Nanti keburu masuk.”
“Bi Tari, nunggu Kar sampai pulang
sekolah kan?”
“Iya, sayang.” Berbarengan dengan
ucapan Bi Tari bel masuk sekolah pun berdering. Bi Tari segera keluar dari
kelas Kartini menuju taman yang sudah mulai lengang dari siswa berseragam putih
merah.
“Anak-anak..” Suara bass guru paruh
baya menggelegar di antara riuh rendah suara para murid, “bulan depan kita akan
memperingati hari Kartini. Kelas 3-A akan menyumbangkan drama dengan judul
Kartini, pahlawanku. Bapak sudah menuliskan beberapa peran dan kalian silahkan
maju untuk mengambil undian peran masing-masing. Peran yang kalian dapat tidak
boleh kalian tukar dengan peran lain.” Pak guru mengeluarkan toples yang berisi
gulungan kertas-kertas kecil. Kemudian berdasarkan absen, para siswa dengan
tertib mengambil undian peran tersebut.
“Kartini Azmi.” Kartini segera
melangkahkan kakinya menuju meja Pak guru. Tangan mungilnya mulai merogoh
toples yang mulai terlihat kosong. Ia memberikan undian peran tersebut kepada
Pak guru.
“Semoga gak kebagian peran si
Kartini.” Gumamnya sendiri.
“Waaah..” Suara Pak guru membuat
para murid tak terkecuali Kartini serentak menatap wajah paruh baya itu, “kita
dapat pemeran utamanya. Cocok dengan nama aslinya, Kartini.” Sumringah Pak guru
menatap Kartini yang malah tampak kecewa.
“Pas banget, Ibu Kartini.” Celetuk
seorang siswa yang terdengar menyakitkan di telinga Kartini. Kartini menyeret
langkahnya yang ia rasa semakin berat. Ia tatap wajah Bejo yang sama
sumringahnya dengan Pak guru. Ia tidak yakin bisa memerankan peran orang yang
sangat ia benci.
@@@
“Ngiung..ngiung..ngiung…” bunyi
sirine ambulance bergema dikeheningan malam. Memecah kekhusyuan peri malam yang
betah bergulat dengan kelam. Isak tangispun ikut pecah memekakkan telinga
siapapun yang mendengarnya. Tangan kekar Ryo memeluk Kartini erat, seolah
mencoba memberi kekuatan pada adiknya padahal ia sendiri juga belum memiliki
kekuatan itu sepenuhnya. Bunda terlihat histeris dalam pelukan Bi Tari. Sesosok
laki-laki bertubuh tambun tergolek tak berdaya di sebuah tandu Rumah Sakit.
Badannya dibanjiri darah segar yang belum mengering. Kini tandu itu menghilang
tertelan dalam ruangan bertuliskan instalasi gawat darurat. Beberapa jam
kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Ia memberikan kabar duka
yang lebih menyesakkan dada.
“Maaf, Bu. Kami tim dokter sudah
berusaha semaksimal mungkin, tapi memang takdir Bapak harus sampai di sini.
Luka di kepalanya terlalu parah sehingga ia sangat kehilangan banyak darah dan
akhirnya tidak mampu bertahan. Kami turut berduka cita.”
Bunda tidak kuat menerima kenyataan
pahit yang baru saja ia dengar, ia jatuh pingsan. Kartini yang sangat
menyayangi Ayahnya pun tak kuasa bertahan dalam pelukan kakaknya, ia pun jatuh
tak sadarkan diri.
Ketika sadar, Kartini bingung
mengapa kepalanya begitu berat dan begitu banyak orang di rumahnya. Ia mencoba
mengingat-ingat apa yang telah terjadi, dan ia ingat ayahnya kecelakaan sewaktu
pulang dari kantornya yang berada di Bandung menuju rumahnya yang kini berada
di kawasan Jakarta. Kemudian mereka ke Rumah Sakit dan barusan adalah prosesi
pemakaman Ayah tercintanya. Ia segera beranjak dari tidurnya. Ia mencubit
tangannya keras-keras.
“Aduh! Sakit.” Ini bukan mimpi,
pikirnya.
“Ayaaaaah!” Kartini menghambur
keluar kamar dan menyeruak diantara orang-orang yang mulai meninggalkan rumah
mereka.
“De..” Bi Tari segera memeluk dan
menenangkan Kartini. Kartini meronta-ronta.
“Bunda!!” masih dalam pelukan Bi
Tari, Kartini berteriak memanggil Bunda. Bunda yang juga masih shock segera
menoleh mendengar dirinya dipanggil oleh putri bungsunya.
“Ini semua gara-gara Bunda!”
Kartini meronta sekuat tenaga dan berhasil lepas dari pelukan Bi Tari. Ia
berdiri sejajar dengan Bunda yang tengah duduk.
“Kenapa, sayang?” Bunda mencoba
meraih tangan mungil Kartini. Namun Kartini menepisnya cepat.
“Ayah meninggal gara-gara Bunda!”
Kartini masih menyalahkan Bunda.
“Ayahmu kecelakaan, sayang. Bunda
juga gak mau Ayah meninggal, Bunda juga sedih.” Ucap Bundanya menahan isak
tangisnya.
“Kalau kita gak pindah ke Jakarta,
kalau Bunda gak mikirin kerjaan melulu, kalau Bunda gak egois, dan kalau Ayah
gak harus pulang pergi Jakarta Bandung buat kerja pasti Ayah gak akan
kecelakaan! Ini semua karena Bunda! Kar Benci sama Bunda, Benci!!” Kartini
segera berlari menuju kamarnya.
“Brakk!” dentuman pintu kamar
Kartini terdengar keras menghentikan langkah Ryo dan Bi Tari yang mencoba untuk
mengejarnya.
“De!” panggil Ryo dan Bi Tari
bersamaan. Berkali-kali pun mereka meneriakkan nama Kartini, yang punya kamar
tidak juga membuka pintu kamarnya. Ryo dan Bi Tari sepakat untuk meinggalkan
kamar Kartini dan beralih pada Bunda yang pasti tambah shock dengan perkataan
Kartini barusan. Di dalam kamarnya, Kartini menangis sejadi-jadinya. Ia
mendekap erat boneka Baby Beenya dan
mengumpat Ibu Kartini sebagai biang keladi dari semua kejadian pahit yang
menimpa dirinya.
Beberapa hari kemudian, Bi Tari dan
Ryo yang baru saja selesai mengikuti UN tinggal di Jakarta. Bunda yang walaupun
masih dalam keadaan shock harus tetap masuk kerja. Dan Kartini yang masih bersitegang
dengan Bunda tak lagi bisa dikatakan ceria, ia kerap terlihat bermuka sedih
ditambah latihan drama yang sangat memuakkan baginya.
“De Kar, sayang!” panggil Bunda. Bunda
sengaja beberapa hari ini pulang kerja lebih cepat berharap bisa bertemu dan
memperbaiki hubungannya dengan putri bungsunya itu. Kartini yang kebetulan
lewat kamar Bundanya segera berjalan cepat menuju kamarnya. Ia masih belum bisa
berdamai dengan Bundanya.
“Sabar, Bun. Nanti Ryo coba bujuk
De Kar.” Ryo mengelus punggung Bunda tercintanya. Miris hatinya melihat dua
perempuan terkasihnya tidak akur seperti itu.
Di kamarnya, Kartini menulis
beberapa kata yang tidak lain ia tujukan kepada Ibu Kartini. Kamarnya begitu
berantakan. Kertas-kertas berserakan di atas meja belajarnya. Ia sengaja
mematikan lampu kamarnya dan hanya menyalakan lampu belajarnya agar dikira
sudah tidur. Sampai akhirnya ia tertidur dan tidak menyadari kakaknya yang
membuka pintu kamarnya dan membereskan kamarnya yang berantakan.
@@@
“Buat aku, nama dari orang tua itu
adalah doa. Mungkin Bundamu memilihkan nama Kartini supaya nanti kalau kamu
besar, kamu bisa jadi Kartini masa kini. Menjadi sosok yang bisa menjadi
panutan banyak orang seperti Ibu Kartini. Buat aku nama kamu itu keren. Kalau
memang ada yang nambahin ‘Ibu’ di awal namamu, ya biarin saja. Anggap saja itu
doa dari mereka supaya kamu bisa menjadi Ibu Kartini masa kini.” Bejo menjawab
panjang kali lebar kali tinggi pertanyaan Kartini yang hanya sekalimat. “Bejo,
kenapa kamu gak malu dengan nama Bejo itu?”
Kartini hanya menyimak jawaban
Bejo. “Kar, sewaktu Ayahmu masih hidup, apa Bundamu pernah memarahimu tanpa
alasan?” tanya Bejo. Kartini menggelengkan kepalanya.
“Aku jarang bisa bertemu Bunda.
Makanya aku lebih sayang sama Ayah daripada Bunda.”
“Terus, Bundamu suka beliin baju,
boneka atau apa saja yang bikin kamu senang?”
“Sering. Boneka Baby Bee ku itu hadiah dari Bunda.”
“Terus siapa yang ngasih kamu uang
jajan? Ayah atau Bundamu?”
“Dua-duanya, Jo.”
“Tuh kan! Bundamu itu sebenernya
sayang sama kamu. Kalau dia gak sayang dia gak akan membelikan boneka atau
lainnya, dia juga gak akan ngasih uang jajan, Kar! Sudah baikan sama Bundamu.”
“Gak mau. Aku masih benci sama
Bunda yang sudah bikin Ayah meninggal!” Kartini segera berlari sekencang
mungkin menuju rumahnya. Bejo yang sudah jauh-jauh mengantarkan Kartini pulang
ke rumah sekalian mau meminjam buku itu malah ditinggal dan ia hanya mampu
mengelus dada atas sikap teman barunya itu.
“De..” Suara Ryo mengagetkan
Kartini.
“Kakak bikin kaget saja!”
“Kamu ngapain bengong di ruang
tamu? Baru pulang itu langsung ganti baju, De.” Ucap Ryo selembut mungkin tidak
ingin membuat adiknya itu diserang kemarahan lagi.
“Iya.” Kartini segera beranjak dari
duduknya.
“De, kok pulangnya sore banget?”
tanya Ryo.
“Ada latihan drama buat hari
Kartini, Kak.” Jawab Kartini sambil menyeret tasnya menuju kamarnya.
“Wah..” Ryo antusias, “kamu dapat
peran apa, De?” Ia melangkahkan kakinya pelan mensejajari langkah kecil
adiknya.
“Peran yang paling gak penting.”
Jawabnya malas.
“Sabar ya, De. Mungkin hari Kartini
tahun depan kamu dapat peran utama jadi Ibu Katini.” Kartini menolehkan
wajahnya menatap Kak Ryo.
“Justru Kar selalu dapet peran itu,
Kak! Gak di Bandung gak di Jakarta selalu dapet peran jadi si Kartini. Sebel
banget!” muka kecil Kartini memerah menahan kekesalan. Ryo yang sudah hapal
sekali sifat adiknya itu segera tersenyum.
“De..” senyumnya menyungging jelas
membuat Kartini bingung, “Taman Mini lagi ada diskon nonton di keong mas. Kakak
sudah beli dua tiket nih. Besok nonton yuk!” Kakaknya menyodorkan dua tiket
keemasan ke hadapan Kartini. Ia langsung menyambar tiket tersebut.
“Film apa saja, Kak?” tanyanya
antusias.
“Nih, baca saja brosurnya.” Ryo kembali
menyodorkan selembar kertas kepada adiknya itu. Mata kartini berkutat pada
tulisan yang berada di sebelah kanan brosur.
“Oke. Makasih, Kak!” Ia segera
memeluk Kakaknya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Keesokan harinya, selepas menonton
film blue planet Kartini bersama
Kakaknya, Ryo berjalan-jalan di sekeliling anjungan yang ada di TMII.
“De, Bunda kangen sama kamu.” Ucap
Ryo pelan, ia mencoba memberi tekanan di akhir kalimatnya. Kartini hanya diam,
bingung hendak menjawab apa.
“De, tahu gak? Ayah itu sangat
teramat mencintai Bunda. Ayah sebenarnya sedang mengurus surat-surat mutasi.
Ayah juga mau pindah ke kantor yang di Jakarta biar kita sekeluarga bisa kumpul
lagi.” Ryo sengaja diam, memberikan kesempatan bagi adiknya untuk ikut
bersuara. Namun sepertinya Kartini lebih memilih untuk menyimak saja.
“Nama kamu itu adalah permintaan,
amanat dari Ibunya Kakek, Eyang kita.”
“Kok bisa, Kak?”
“Jadi Kakek pernah cerita sewaktu
Kakak masih kecil. Ibunya Kakek, Eyang kita itu adalah salah satu orang yang
secara langsung bertemu dan berjuang bersama Ibu Kartini. Eyang ingin sekali
memberikan nama anaknya dengan nama Kartini, namun semua anaknya adalah
laki-laki termasuk kakek. Akhirnya diamanatkanlah kepada kakek selaku anak
bungsu Eyang. Kakek pun ternyata memiliki anak laki-laki semua termasuk Ayah.
Dan kamulah cucu perempuan Kakek yang pertama. Kalau kakek masih hidup, pasti
dia senang sekali melihat kamu lahir waktu itu. Makanya Bunda tidak bisa menuruti
permintaanmu. Seharusnya kamu bersyukur, kamu adalah perempuan yang
diidam-idamkan sejak Eyang masih ada sampai Ayah sudah tiada.” Ryo menatap
adiknya yang masih saja asyik menyimak ceritanya.
“De, semua yang terjadi dalam hidup
kita bukan karena orang-orang yang ada di sekitar kita. Semua sudah diatur oleh
Tuhan. Termasuk kepergian Ayah yang sangat cepat. Bukan hanya kamu yang sedih,
Kakak, Bunda, Bi Tari dan semua keluarga kita bersedih. Kalau Bunda tahu Ayah
akan meninggal, ia pasti sudah melarang Ayah untuk mengurus surat mutasi hari
itu. Tapi memang sudah ditakdirkan seperti ini, De. Kita sebagai ciptaan-Nya
hanya bisa bersabar dan tawakal. Kamu masih kecil tapi Kakak harap kamu sedikit
mengerti perasaan Bunda.” Kartini segera memeluk Kakaknya. Air matanya berderai
deras membasahi kaos yang dipakai Ryo.
“Maafin Kar, Kak! Kar sayang sama
Kakak, Bunda, Ayah, Bi Tari. Kar sayang!” ucapnya disela-sela isak tangisnya.
“Sudah, pulang yuk!” Kartini
mendongakkan kepalanya menatap Kakaknya, Ryo.
“Gendong, Kak!” bujuknya manja.
“Apa?! Gak mau! Kamu sudah gede,
berat!” Ryo berpura-pura kabur dan segera ditarik-tarik oleh Kartini. Lima
menit mereka kejar-kejaran, air mata kartini juga sudah mengering seiring
tawanya yang kian membahana. Akhirnya Ryo mengalah dan menggendong adiknya itu
sampai parkiran motor.
Sesampainya di rumah.
“Bundaaaaa!” Kartini menghambur
dalam pelukan Bunda yang sudah menungu kedatangan mereka.
“Sayang.. Maafin Bunda, ya! Bunda
janji akan selalu luangin waktu buat kamu.” Bunda terisak memeluk gadis
kecilnya itu.
“Kar yang minta maaf, Bun. Kar
janji akan jadi Kartini masa kini sesuai permintaan Eyang dan Kakek. Kar janji
akan buat Ayah, Bunda, Kak Ryo dan Bi Tari bangga sama Kar.” Bunda segera
mengecup kening Kartini, lalu kembali memeluknya erat. Ryo dan Bi Tari
tersenyum melihat Bunda dan Kartini yang saling berpelukan.
@@@
Satu minggu kemudian.
Kartini sudah didandani dengan
kebaya dan sanggul di kepalanya. Ia terlihat begitu cantik. Drama peringatan
hari Kartini pun dimulai. Kartini yang berperan sebagai Ibu Kartini segera
menuju panggung dan menjalankan skenario yang sudah dihapalnya. Matanya melirik
ke arah bangku penonton. Tampak di pelupuk matanya, Bunda, Kak Ryo dan Bi Tari
berada di deretan kursi pertama. Ia pun tersenyum manis pada mereka. Matanya
kemudian mengawang menatap langit yang membiru. Tampak wajah Ayah dan Ibu
Kartini yang juga memberikan senyuman kepadanya.
“Ah, Ayah.. lihatlah aku, akan ku
wujudkan cita-cita Eyang menjadi Kartini masa kini. Bu Kartini, terimalah suratku
yang pertama kalinya memujimu dan lupakanlah semua surat dan puisiku selama ini
yang selalu mencacimu” batin Kartini. Ia mengingat baris kata yang ia tulis di
kertas selembar di kamarnya.
Teruntuk
Kartini
Dari
Kartini
Entah
bagaimana permohonan maafku dapat kau terima. Jika selama ini aku hanya
mencacimu, hanya menghujatmu dengan kata-kata pedas. Namun tetap aku akan
meminta maaf kepadamu. Kini aku sadari, kau lah panutanku agar aku dapat
membahagiakan Ayah di alam sana, Bunda, Kak Ryo, dan Bi Tari. Aku memang masih
kecil, namun aku yakin aku bisa memiliki semangatmu yang membara dalam membela
kebenaran. Kau lihatlah aku dari sana, tersenyumlah karena aku akan menjadi
dirimu di masaku sekarang. Menjadi Kartini masa kini. Terimalah suratku ini
wahai Ibu Kartini dan lupakanlah bahwa aku pernah membencimu.
Salam
hangat selalu,
Kartini.
_END_